Thursday, June 19, 2014

Wisanggeni Gugat 2: Menguji Kesetiaan Bathara Bromo


Bathara Panyarikan tidak membuang waktu lagi. Segera madal pasilan meninggalkan pisowanan di Jonggringsalaka menuju ke Gresilageni untuk menjemput Bathara Bromo. Mengetahui dirinya dipanggil Sang Hyang Bathara Guru, Bathara Bromo segera melesat menuju ke paseban di Marcupundhamanik, menjumpai penguasa tunggal Suralay yang masih nampak galau. Sejenak berbasa-basi, akhirnya Bathara Guru ndangu Bathara Brama.
+ “Jangan terkejut ya Bromo, ulun memanggilmu untuk sowan, ada satu hal yang sangat penting yang harus ulun bicarakan denganmu”.
- “Sendika, pukulun Bathara Guru”
+”Sebelumnya ulun tanya, sejauh mana kira-kira pengabdian dan kecintaanmu terhadap ulun, selaku pepundhenmu?”
- “Pukulun, panjenengan adalah pepundhen hamba, yang sangat hamba hormati dan hamba cintai. Sampai detik ini pun, dari lubuk hati yang terdalam, segala cinta dan pengorbanan hanyalah untuk paduka. Jiwa raga hamba hanyalah untuk kemuliaan paduka”
+ “Ulun percaya, tiada yang lebih setia terhadapku melebihi dirimu. Kecintaanm pun telah teruji selama ini. Maafkan ulun, kalau terkesan mempertanyakan kesetiaanmu. Hal ini ulun rasa perlu, karena ulun hendak mempercayakan satu tugas yang maha berat, yang ulun percayai hanya dirimu yang mampu mengembannya”
- “Sendika paduka. Demi kehormatan dan kemuliaan paduka, ijinkanlah hambanyadhong dawuh pukulun, semua yang paduka titahkan akan hamba laksanakan dengan penuh tanggung jawab”
Bathara Guru terdiam sejenak. Menghela napas panjang, kemudian melanjutkan sabdanya, sambil menatap tajam wajah Bathara Bromo yang tertunduk takzim.
+ “Sekarang pulanglah ke kahyangan Gresilageni. Jumpai cucumu Wisanggeni, dan bunuhlah dia untukku”
Lirih namun tegas sabda Bathara Guru, namun bagi Bathara Bromo, terdengar bagaikan gundhala sasra, seribu guntur yang bersuara bersamaan dalam topan badai. Pucat pasi, gemetar, Bathara Bromo tak mampu mengeluarkan suara.
+ “Bagaimana Bromo, ulun sangat bergantung pada dirimu. Hanya kamulah yang mampu menyelamatkan kahyangan Suralaya dari kehinaan”
- “Punten dalem sewu pukulun, kalau diperkenankan tahu, mengapa hamba harus membunuh cucu saya? Apa dosa yang telah dia perbuat sehingga mampu mencemarkan kehormatan Suralaya?”
+ “Kau tak perlu tahu. Ulun hanya ingin kesanggupanmu. Kalau kamu sanggup, bunuhlah Wisanggeni, dan itu membuktikan bukti kecintaan dan kesetiaanmu pada Suralaya. Namun apabila kamu tak sanggup, berarti tak ada gunanya dirimu jadi dewa. Satu-satunya hal yang pantas untukmu adalah tanggalkan seluruh pakaian kebesaran kedewaanmu, dan terjunlah kamu ke kawah Candradimuka”
Bathara Bromo terdiam lama, sampai akhirnya dengan suara tercekat dia memohon kepada Bathara Guru
- “Punten dalem sewu pukulun, bagaimana saya bisa membinasakan cucu saya, sedangkan pada saat dalam kandungan, saat lahir, maupun pada saat masih kecil, melalui keadaan yang sangat kritis dan membahayakan dunia seisinya. Apalagi sekarang, saat dia sedang beranjak dewasa, apa tidak berbahaya bagi Suralaya?”
+ “Tak perlu banyak cakap Bromo. Sanggup atau tidak? Take it or leave it! Bunuh Wisanggeni atau nyemplung kawah Candradimuka!”
Bathara Bromo bimbang, dan menoleh pada Bathara Narada, meminta pertimbangan.
- “Bagaimana ini kakang Narada, mengapa saya dihadapkan pada posisi yang sangat sulit. Mohon bantuan kakang untuk meredakan amarah pukulun Bathara Guru”
+ “Luweh, aku ora melu-melu. Bagimu hanya ada pilihan. Bunuh Wisanggeni, atau nyemplung kawah. Ulun tadi sudah memberikan saran pada adi Guru, tapi malah ulun mau dipensiun dini jadi dewo. Semua tergantung kamu. Keputusan di tanganmu”
Dengan berat hati akhirnya Bromo menyanggupi perintah Bathara Guru yang sebenarnya dirasa tidak masuk akal. Namun apa daya, sebagai seorang dewa, dia hanya bisa tunduk dan patuh pada sang penguasa jagat, meskipun harus mengorbankan cucu kesayangannya. Akhirnya Bromo meminta ijin untuk kembali ke Gresilageni. Menjalankan misi yang sangat berat baginya, yang hampir-hampir tak mungkin dilakukannya.
Selepas kepergian Bromo, segera Bathara Guru memerintahkan Narada beserta anak-anaknya untuk mengikuti langkah Bromo, memastikan bahwa Bromo akan melaksanakan perintahnya. Apabila Bromo tidak mampu melaksanakan tugas, maka menjadi kewajiban Narada untuk meringkus dan menjerumuskan ke dalam kawah Candradimuka.
Bathari Durga, yang saat itu telah datang menghadap, segera diperintahkan oleh Bathara Guru untuk menemui sang putra, Dewasrani di Parang Gupito dan menugaskannya untuk melaksanakan misi berikutnya. Membunuh dan mempersembahkan kepala Werkudoro, Antaseno dan Janaka. Sebagai sipat kandel, Bathara Guru membekali Durga dengan pusaka cis jaludara miliknya. Apabila Dewasrani berhasil melaksanakan tugasnya, Bathara Guru berjanji untuk mengangkat dan mewisuda Dewasrani sebagai lelananging jagadmenggantikan posisi Arjuna. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bathari Durga yang memang sangat berambisi untuk meraih kedudukan di kahyangan Suralaya melesat menuju Parang Gupito untuk menyampaikan amanat itu kepada puteranya.
Selesai memberikan sabda, dengan diiringi para dayang, Bathara Guru beranjak menuju bilik peraduan untuk beristirahat.

Bersambung lagi sesempatnya

No comments:

Post a Comment