Bathara Panyarikan tidak membuang waktu
lagi. Segera madal pasilan meninggalkan pisowanan di
Jonggringsalaka menuju ke Gresilageni untuk menjemput Bathara Bromo. Mengetahui
dirinya dipanggil Sang Hyang Bathara Guru, Bathara Bromo segera melesat menuju
ke paseban di Marcupundhamanik, menjumpai penguasa tunggal Suralay yang masih
nampak galau. Sejenak berbasa-basi, akhirnya Bathara Guru ndangu Bathara Brama.
+ “Jangan terkejut ya Bromo, ulun memanggilmu
untuk sowan, ada satu hal yang sangat penting yang harus ulun bicarakan
denganmu”.
- “Sendika, pukulun Bathara Guru”
+”Sebelumnya ulun tanya, sejauh mana
kira-kira pengabdian dan kecintaanmu terhadap ulun, selaku pepundhenmu?”
- “Pukulun, panjenengan
adalah pepundhen hamba, yang sangat hamba hormati dan hamba cintai.
Sampai detik ini pun, dari lubuk hati yang terdalam, segala cinta dan
pengorbanan hanyalah untuk paduka. Jiwa raga hamba hanyalah untuk kemuliaan
paduka”
+ “Ulun percaya, tiada yang lebih setia
terhadapku melebihi dirimu. Kecintaanm pun telah teruji selama ini. Maafkan
ulun, kalau terkesan mempertanyakan kesetiaanmu. Hal ini ulun rasa perlu,
karena ulun hendak mempercayakan satu tugas yang maha berat, yang ulun percayai
hanya dirimu yang mampu mengembannya”
- “Sendika paduka. Demi kehormatan dan
kemuliaan paduka, ijinkanlah hambanyadhong dawuh pukulun, semua yang
paduka titahkan akan hamba laksanakan dengan penuh tanggung jawab”
Bathara Guru terdiam sejenak. Menghela
napas panjang, kemudian melanjutkan sabdanya, sambil menatap tajam wajah
Bathara Bromo yang tertunduk takzim.
+ “Sekarang pulanglah ke kahyangan
Gresilageni. Jumpai cucumu Wisanggeni, dan bunuhlah dia untukku”
Lirih namun tegas sabda Bathara Guru,
namun bagi Bathara Bromo, terdengar bagaikan gundhala sasra, seribu
guntur yang bersuara bersamaan dalam topan badai. Pucat pasi, gemetar, Bathara
Bromo tak mampu mengeluarkan suara.
+ “Bagaimana Bromo, ulun sangat
bergantung pada dirimu. Hanya kamulah yang mampu menyelamatkan kahyangan
Suralaya dari kehinaan”
- “Punten dalem sewu pukulun, kalau
diperkenankan tahu, mengapa hamba harus membunuh cucu saya? Apa dosa yang telah
dia perbuat sehingga mampu mencemarkan kehormatan Suralaya?”
+ “Kau tak perlu tahu. Ulun hanya ingin
kesanggupanmu. Kalau kamu sanggup, bunuhlah Wisanggeni, dan itu membuktikan
bukti kecintaan dan kesetiaanmu pada Suralaya. Namun apabila kamu tak sanggup,
berarti tak ada gunanya dirimu jadi dewa. Satu-satunya hal yang pantas untukmu
adalah tanggalkan seluruh pakaian kebesaran kedewaanmu, dan terjunlah kamu ke
kawah Candradimuka”
Bathara Bromo terdiam lama, sampai
akhirnya dengan suara tercekat dia memohon kepada Bathara Guru
- “Punten dalem sewu pukulun,
bagaimana saya bisa membinasakan cucu saya, sedangkan pada saat dalam
kandungan, saat lahir, maupun pada saat masih kecil, melalui keadaan yang
sangat kritis dan membahayakan dunia seisinya. Apalagi sekarang, saat dia
sedang beranjak dewasa, apa tidak berbahaya bagi Suralaya?”
+ “Tak perlu banyak cakap Bromo. Sanggup
atau tidak? Take it or leave it! Bunuh Wisanggeni
atau nyemplung kawah Candradimuka!”
Bathara Bromo bimbang, dan menoleh pada
Bathara Narada, meminta pertimbangan.
- “Bagaimana ini kakang Narada, mengapa
saya dihadapkan pada posisi yang sangat sulit. Mohon bantuan kakang untuk
meredakan amarah pukulun Bathara Guru”
+ “Luweh, aku ora melu-melu. Bagimu
hanya ada pilihan. Bunuh Wisanggeni, atau nyemplung kawah. Ulun tadi sudah
memberikan saran pada adi Guru, tapi malah ulun mau dipensiun dini jadi dewo.
Semua tergantung kamu. Keputusan di tanganmu”
Dengan berat hati akhirnya Bromo
menyanggupi perintah Bathara Guru yang sebenarnya dirasa tidak masuk akal.
Namun apa daya, sebagai seorang dewa, dia hanya bisa tunduk dan patuh pada sang
penguasa jagat, meskipun harus mengorbankan cucu kesayangannya. Akhirnya Bromo
meminta ijin untuk kembali ke Gresilageni. Menjalankan misi yang sangat berat
baginya, yang hampir-hampir tak mungkin dilakukannya.
Selepas kepergian Bromo, segera Bathara
Guru memerintahkan Narada beserta anak-anaknya untuk mengikuti langkah Bromo,
memastikan bahwa Bromo akan melaksanakan perintahnya. Apabila Bromo tidak mampu
melaksanakan tugas, maka menjadi kewajiban Narada untuk meringkus dan
menjerumuskan ke dalam kawah Candradimuka.
Bathari Durga, yang saat itu telah
datang menghadap, segera diperintahkan oleh Bathara Guru untuk menemui sang
putra, Dewasrani di Parang Gupito dan menugaskannya untuk melaksanakan misi
berikutnya. Membunuh dan mempersembahkan kepala Werkudoro, Antaseno dan Janaka.
Sebagai sipat kandel, Bathara Guru membekali Durga dengan pusaka cis
jaludara miliknya. Apabila Dewasrani berhasil melaksanakan tugasnya, Bathara
Guru berjanji untuk mengangkat dan mewisuda Dewasrani sebagai lelananging
jagadmenggantikan posisi Arjuna. Tanpa menunggu diperintah dua kali,
Bathari Durga yang memang sangat berambisi untuk meraih kedudukan di kahyangan
Suralaya melesat menuju Parang Gupito untuk menyampaikan amanat itu kepada
puteranya.
Selesai memberikan sabda, dengan
diiringi para dayang, Bathara Guru beranjak menuju bilik peraduan untuk
beristirahat.
Bersambung lagi sesempatnya
No comments:
Post a Comment