Kahyangan Suralaya….
Suralaya, kahyangan tempat bersemayam para
dewa, adalah tempat yang wingit, gawat keliwat-liwat, dan penuh wibawa.
Dari sanalah sumber kekuatan yang menguasai jagad. Sebagi tempat persemayaman
para dewa, sungguh sangat diluar jangkauan akal, seorang titah
ngarcapada mampu mencapainya, kecuali bahwa ia memiliki nyali dan
kemampuan yang luar biasa. Sesuai namanya, suraberarti berani,
dan laya yang berarti kematian, maka seorang titah yang
kementhus menjejakkan kakinya di Suralaya wajib menyadari bahwa dirinya
saat itu tengah berjudi dengan taruhan nyawa. Demikain wingitnya, sampai-sampai
diibaratkan sato moro sato mati, jalmo moro keplayu. Dari singgasana yang
penuh cahaya, kahyangan Suralaya memberikan nuansa yang penuh wibawa, tak
terbatas kekuasaannya atas jagad yang gumelar, sak lumahing bumi, sak
kurebing langit. Kewingitan Jonggringsalaka, sebutan lain untuk Suralaya,
semakin terasa dengan keberadaan kawah Candradimuka, tempat para dewa nakal
yang perlu diluruskan akhlak dan perilakunya.
Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru, penguasa
tunggal kayangan Suralaya, sebagai pemilik wewennag dan tanggung jawab
memberikan contoh bagi para titah, mengelola jagad gumelar, menjadi raja bagi
seluruh bumi seisinya. Memberikan kelimpahan rezeki dan makanan bagi para
penghuni jagad dari arahkiblat papat. Bathara Guru, dikenal juga sebagai
Sanghiang Manikmaya, dalam menguasai jagad, menjadi ratuning poro ratu,
dibantu oleh para dewa, parabathara dan bethari. Keempat tangan
Bathara Guru, menggenggam kembang Dewandaru, Cupu Manik Astagina yang berisikan
air kehidupan. Tergenggan pula pusaka cis trisula dan cis jaludara, sebagai
lambang penguasaan terhadap hajat hidup seluruh titah ngarcopodo.
Hari itu, Sang Hyang Guru sedang duduk di
singgasana Marcu Pundhamanik. Tampak Sang Bathara Guru sedang dirundung
kegalauan. Tak ada para Dewa yang berani mendekat. Hingga akhirnya beliau
memanggil patihnya, Sang Hyang Kanekaputra, alias Bathara Narada. Narada adalah
seorang dewa yang lurus, teguh dalam pendirian serta terkenal jujur. Narada
menghadap didampingi dua puterannya Bethara Masno dan Bethara Panyarikan.
Sementara di luar, para dewa
berkumpul. Mereka menantikan apa yang akan disabdakan
oleh Bathara Guru. Hening, penuh ketegangan. Angin laksana berhenti berhembus,
daun-daun seakan tak bergerak. Sayup-sayup terdengar gamelan Lokananta, yang
berbunyi tanpa ada yang menabuhnya, menambah tintrim suasana.
Beberapa saat membisu, akhirnya Bathara
Guru membuka suara:
+ ”Kakang Narada, mudah-mudahan tidaklah
menjadikanmu terkejut, hari ini ulun panggil secara mendadak”
- ”Terus terang saya bertanya-tanya sejak
dari luar, dan saya sangat menantikan sabda paduka Adi Pramesti”
+ ”Sebelumnya, ulun ingin mendengar kabar
tentang para dewa, bagaimana keadaan mereka, apakah segalanya baik-baik saja”
- ”Pangestunipun, semuanya aman terkendali,
seluruh kebutuhan tercukupi tanpa kekurangan suatu apapun Adhi Pramesthi”
Seperti yang sudah-sudah setiap kali ada
pisowanan, Bathara Guru menanyai satu per satu para dewa yang hadir dalam
pisowanan tersebut. Sampai akhirnya, Sang Hyang Guru kembali berpaling ke
Narada.
+ ”Kakang Narada, ulun percaya, kalau segala
sesuatu yang ada di atas bumi dan di bawah langit berjalan dengan sempurna, tak
kurang satu apapun. Namun, sampai saat ini, ada satu hal yang masih mengganjal
di hatiku, masih menyisakan satu noda bagi kita para dewa
dalam nggulawentah jagad seisinya”
- ”Seandainya boleh tahu, apa yang membuat
adhi Guru gundah gulana? Tidakkah semua prestasi yang telah adhi Guru raih
dalam memakmurkan seluruh alam raya telah menghantarkan kedamaian dan kepuasan
bagi batin Adhi Guru?”
+ ”Seperti telah kita tahu bersama, ulun
dan kita para dewa adalah ratunya para ratu. Tak ada titah yang tidak
menghormati kita. Semuanya tunduk dan patuh kepada kita para dewa. Namun ada
hal yang menjadi klilip. Ada sementara titah yang tidak bisa bertatakrama.
Jangankan kepada sesama titah. Bahkan dengan kita para dewa pun
mereka nungkak kromo. Maka ulun berkehendak ingin membersihkan
anasir-anasir buruk itu dari muka bumi, sehingga seluruh alam semesta, terlebih
lagi kahyangan Suralaya, tidak terkotori oleh mereka”
- ”Lalu siapakan yang Adhi Guru maksud?”
+ ”Tak lain dan tak bukan adalah Werkudoro,
Antasena dan Wisanggeni yang tak tahu tata krama, tak tahu menghormati para
dewa. Yang selanjutnya adalah Priyagung Madukara Raden Janaka, yang dengan
berani-beraninya mengawini para bidadari. Karena itu, ulun ingin membinasakan
mereka, agar pengaruh buruk yang mereka timbulkan tidak menyebar di kalangan
para dewa maupun titah ngarcopodo, sehingga kahyangan Suralaya tetap terjaga
kesucian dan kewibawaannya, tidak terlecehkan oleh sikap dan perilaku mereka”
Narada terkesiap. Tampak rona wajah
memerah, menahan rasa terkejut atas titah dari Bathara Guru. Sejenak dia
terdiam, sampai akhirnya keluar kata-kata dari mulutnya.
- ”Perkenankan saya mengemukakan pendapat.
Kesalahan para titah tadi, sebenarnya bersumber dari kesalahan adhi Guru
sendiri”
+ ”Lha kok malah aku yang disalahkan?”
- ”Pertama, Werkudara. Werkudara itu sejak
kecil dimomong oleh Bathara Bayu. Sepanjang yang kita tahu, Bathara Bayu itu
memang tidak bisa bertutur kata yang lembut dan sopan. Kesalahan Adhi Guru,
mengapa Adhi tidak mampu mengajar cucu Adhi, Bathara Bayu untuk bisa berbahasa
yang halus dan bertutur kata yang sopan, sehingga hal yang serupa juga
diturunkan kepada Werkudoro?”
Narada melirik Bathara Guru, yang masih
dengan seksama menyimak argumentasi Narada tanpa membantahnya.
- ”Selanjutnya, Antasena. Sejatinya,
Antasena itu telah meninggal, saat diminta menjadi martir di kahyangan
Suralaya. Hidupnya Antasena itu karena kekuasaan Sang Hyang Wenang yang
mentakdirkan Antasena tetap hidup tetapi punya cacat mental tak bisa bertata
krama. Nah salah Adhi Guru, anak yang masih belum cukup umur kok diajukan untuk
membela kahyangan Suralaya.”
- ”Tentang Wisanggeni, ingatkah Adhi,
sewaktu Wisanggeni berusia tujuh bulan dalam kandungan Dewi Dresanala, Adhi
Guru mencoba menggugurkan kandungannya, karena ingin menikahkan Dresanala
dengan Dewasrani, putera dari Bathari Durga. Akhirnya Wisanggeni lahir
prematur. Karena saking takutnya Bathara Bromo terhadap Adhi Guru, maka Bathara
Bromo berusaha untuk membunuh Wisanggeni. Tapi atas kekuasaan Sang Hyang
Wenang, Wisanggeni tak mampu dilenyapkan nyawanya oleh Bromo, malah akhirnya
ngamuk di kahyangan Suralaya. Ingat nggak, Adhi Guru? Makanya, jangan
sekali-kali menyiksa jabang bayi yang masih ada di gua garba, karena justru
jabang bayi dalam kandungan itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi
sampai berusaha menggugurkannya”
Tampak dari rona wajah Guru semakin
memerah, manndakan kemarahan yang mulai naik. Namun sebagai seorang penguasa
jagad, Guru masih berusah meredakan emosinya
+ ”Tentang Janaka. Terus terang saya merasa
sangat terhina dengan kenekatannya memperistri para bidadari. Padahal sudah
takdirnya bahwa bidadari bukanlah pasangan titah ngarcopodo. Ini sama saja
dengan merusak tatanan yang sudah ulun buat. Hal ini tak bisa diterus-teruskan”
- ”Coba Adhi ingat-ingat. Siapa sebenarnya
Janaka? Dia tak lain adalah pangejawantahan Sang Hyang Siwerna. Makanya dia
mampu memperistri dan menata para bidadari sebagai pendamping hidupnya. Dan semuanya
berawal dari Adhi Guru. Ingatkah Adhi Guru, saat Janaka diminta tolong untuk
mengusir Prabu Niwatakawaca dari kahyangan, kemudaian atas keberhasilannya,
Adhi Guru mengijinkan Supraba untuk diperistri Janaka? Sejak itulah, para
bidadari berlomba-lomba untuk diperistri Janaka. Seandainya tak ada contoh
sebelumnya, saya kira tak akan terjadi hal tersebut”
Kali ini, Bathara Guru sudah tidak lagi
mampu mengendalikan emosinya.
+ “Sekarang, ulun mau tanya. Siapakah
sejatinya dirimu? Kamu itu adalah seorang patih. Hanya patih. Sudah jamak,
seorang patih itu sendika dhawuh kepada ratu. Akulah ratu. Tak perlu
mendebatku. Atau kakang Narada memang sudah bosan jadi patih? Sudah bosan jadi
dewa?”
- “Saya memang hanya patih. Tapi tugas
patih juga untuk mengingatkan raja, apabila raja hendak berbuat sesuatu yang
menyimpang dari paugeran. Apa adhi Guru tak ingat, kalau Sang Hyang Wenang pun
menghendaki agar pandhawa tidak diganggu gugat hingga Perang Baratayuda nanti?
Selamanya pandhawa harus tetap lima, tak boleh dirubah jumlahnya. Apa adhi Guru
hendak menentang kehendak Sang Hyang Wenang?”
- “Diam, aku tak perlu nasihatmu.
Sekarang, aku hanya ingin jawabanmu. Kamu mendukung, atau menolak putusanku
untuk membinasakan para titah ngarcopodo yang kurang ajar itu?”
+ “Ya sudah, nggih sumonggo. Mau
dibinasakan, ya saya nggak ikut-ikut. Saya sendiko dhawuh saja. Tapi saya nggak
mau nanggung resikonya. Tugas saya mengingatkan sudah saya lakukan. Kalau adhi
Guru tetap berkeinginan untuk membinasakan Werkudoro, Janaka dan anak-anaknya,
ya silahkan. Tapi kalau nanti sampai terdengar oleh para titah ngarcopodo,
terus pada tahu kalau adhi Guru membuat keputusan yang tak bijaksana, ojo takon
dosa, kalau sampai suatu saat nanti adhi Guru akan dipermalukan. Apalagi kalau
kakang Semar sampai tahu, terus ngamuk menuntut balas di kahyangan. Apa nggak
tambah repot? Tapi ya kalau memang sudah jadi keputusan adhi Guru, ya
saya sedermo nglakoni kewajiban saya sebagai patih”
Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru
bergeming. Tetap pada keputusannya untuk membinasakan Werkudoro, Janaka,
Antasena dan Wisanggeni. Dengan suara menggelegarnya dia memberikan instruksi
pada Bathara Panyarikan untuk menghadirkan Bathara Bromo, tak lain adalah eyang
dari Wisanggeni, serta menyuruh Bethari Durga untuk menjemput puteranya
Dewasrani, yang akan ditugasi untuk menghabisi nyawa Janaka. Narada hanya
tertunduk lesu. Tampak kekecewaan yang sangat mendalam tergambar di wajahnya.
Namun apa daya, dia hanyalah seorang patih, yang harus tunduk dan patuh pada
sabda sang raja. Hatinya masih galau, tak mampu menggambarkan apa yang akan
terjadi nantinya.
(Bersambung)
Mohon maaf bos, ada yang kurang pas dan mohon di ralat Singgasana batara guru mercukunda bukan mercu punda
ReplyDeletebatara bayu anak batara guru, bukan cucu batar guru, sekian dan terima kasih